Hari Rabu, 30 Desember
2009, menjelang pergantian tahun menuju 2010, Indonesia harus kembali
kehilangan seorang tokoh besar. Seorang tokoh dengan jiwa pluralis dan
menjunjung demokrasi, akrab disebut dengan sapaan Gus Dur. Seorang mantan
Presiden Republik Indonesia yang memerintah tidak dalam waktu yang lama, namun
sangat terasa perbedaannya dengan para pemimpin sebelumnya.
Betapa tidak, di masa
kepemimpinannya, beliau berhasil melakukan perombakan-perombakan yang dinilai
cukup signifikan. Penghapusan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial
dilakukannya karena dinilai sangat tidak efektif untuk mempertahankan kedua
departemen tersebut.
Selain itu, beliau juga
menetapkan Imlek sebagai hari libur. Pada masa pemerintahan siapa, Imlek
ditetapkan sebagai hari libur? Yang ada, keberadaan kaum keturunan Tionghoa di
zaman-zaman sebelumnya sangat ditekan. Penggunaan huruf mandarin saja dilarang,
penggunaan marga-marga yang berbau Tionghoa juga tidak bisa dilakukan. Jika
hal-hal sepele seperti itu saja sulit dilakukan, apalagi untuk merayakan Imlek?
Beruntunglah hal ini sudah berhenti di zaman pemerintahan Gus Dur dan seterusnya
hingga sekarang. Beliaulah pelopor pluralisme sejati di Indonesia. Tidak ada
lagi diskriminasi, baik itu hanya bersifat implisit.
Tidak bisa dibayangkan
bagaimana Indonesia ini tanpa pernah mengecap pemerintah yang dipimpin oleh
seorang Gus Dur. Akankah pluralisme itu akan masih tegak berdiri? Saya yakin,
pluralisme yang ada di Indonesia saat ini bisa ada karena Gus Dur sendiri yang
telah memeloporinya. Tanpanya, Indonesia ini hanyalah sebuah negara yang dihuni
dengan sejuta kebijakan hanya untuk kalangan-kalangan dominan dengan
mengenyampingkan eksistensi kaum minoritas.
Gus Dur memang kini
telah tiada. Sudah tenang di alam sana. Saya yakin, Gus Dur memang akan tenang
disana, namun saya tidak yakin beliau akan tenang ketika meninggalkan Indonesia
dalam keadaan seperti ini. Sebuah keadaan dimana pluralisme itu kembali mulai
rapuh. Sebuah keadaan dimana perbedaan yang ada di antara rakyat Indonesia
bukan dipandang sebagai sebuah kekayaan, melainkan dipandang sebagai sesuatu
yang harus bersaing satu dengan yang lainnya untuk mencapai sebuah dominansi
kekuasaan.
Pertanyaannya sekarang
diajukan pada masing-masing pribadi kita. Maukah kita untuk meneruskan
perjuangan Gus Dur yang begitu menghargai perbedaan? Maukah kita untuk
memperjuangkan juga hak-hak kaum minoritas, bukan hanya mereka yang “minoritas”
dalam lingkup kemasyarakatan, namun juga mereka yang betul-betul minoritas
karena seolah-olah mendapat diskriminasi oleh pemerintah kita?
Jika kita ingin
meyakinkan Gus Dur untuk tetap tenang meninggalkan kita, kitalah juga yang
akhirnya harus meneruskan perjuangannya, sebuah perjuangan untuk terus
menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan, sebuah perjuangan untuk mencegah
adanya dominansi kekuasaan oleh kelompok mayoritas tertentu untuk mencegah
monopoli kebenaran, dan akhirnya sebuah perjuangan untuk terus memperjuangkan
kesejahteraan yang sama bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selamat jalan Gus Dur.
Perjuanganmu sudah usai dan kini akan menajdi perjuanganku, perjuangan kami,
dan perjuangan seluruh rakyat Indonesia.